TIMES WONOGIRI, WONOGIRI – Koperasi Merah Putih merupakan salah satu konsep yang digadang-gadang sebagai gerakan ekonomi kerakyatan, sejatinya lahir dari semangat gotong royong dan kemandirian bangsa.
Gagasan utamanya adalah menghimpun kekuatan ekonomi masyarakat kecil dan menengah melalui koperasi, yang diharapkan dapat menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Dalam perjalanannya, pelaksanaan Koperasi Merah Putih di Indonesia kerap menemui berbagai persoalan pelik yang menimbulkan problematika. Persolan ini bukan hanya menggerus kepercayaan masyarakat, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi kerakyatan yang idealnya menjadi tujuan utama.
Idealisme yang Terdistorsi
Konsep luhur awal Koperasi Merah Putih adalah sebagai wadah bagi para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk bersinergi. Dengan berbadan hukum koperasi, mereka diharapkan dapat mengakses modal, pelatihan, dan pasar secara lebih mudah. Namun, dalam praktiknya, idealisme ini sering kali terdistorsi.
Banyak kasus menunjukkan bahwa koperasi ini justru dimanfaatkan oleh segelintir oknum sebagai alat untuk mengeruk keuntungan pribadi. Alih-alih menjadi wadah pemberdayaan, koperasi-koperasi ini malah berubah menjadi instrumen investasi bodong yang merugikan anggotanya.
Skema yang tidak transparan dan iming-iming keuntungan besar menjadi daya tarik bagi masyarakat, yang pada akhirnya harus menelan pil pahit kerugian finansial. Bahkan ada di Jawa Timur, baru satu hari Koperasi Merah Putih diresmikan oleh Presiden Prabowo langsung keesokan harinya ditutup kembali.
Beberapa masalah fundamental yang menjadi akar dari carut marut Koperasi Merah Putih di antaranya:
Pertama, Lemahnya Pengawasan dan Regulasi. Salah satu titik lemah utama adalah minimnya pengawasan dari pemerintah. Meskipun Kementerian Koperasi dan UKM memiliki peran strategis, dalam banyak kasus, pengawasan yang dilakukan dinilai belum optimal. Celah regulasi sering dimanfaatkan untuk mendirikan koperasi fiktif atau yang beroperasi tidak sesuai dengan prinsip-prinsip koperasi.
Kedua, Minimnya Literasi dan Edukasi Keuangan Anggota. Banyak anggota koperasi yang bergabung tanpa pemahaman yang memadai tentang prinsip-prinsip koperasi, hak, dan kewajiban mereka.
Mereka sering kali hanya tergiur oleh janji-janji manis dan keuntungan instan tanpa mempertimbangkan risiko. Minimnya literasi keuangan ini membuat mereka rentan menjadi korban penipuan.
Ketiga, Tata Kelola yang Buruk dan Transparansi yang Rendah. Banyak koperasi yang tidak menerapkan tata kelola yang baik (good governance). Pengelolaan keuangan yang tidak transparan, penyalahgunaan wewenang oleh pengurus, serta tidak adanya akuntabilitas menjadi masalah klasik.
Laporan keuangan yang tidak jelas dan tidak adanya audit eksternal yang rutin membuat anggota tidak bisa memantau kondisi keuangan koperasi secara akurat. Hal ini menciptakan lingkungan yang subur bagi praktik korupsi dan penyelewengan dana.
Keempat, Keterbatasan Modal dan Kompetensi Pengelola. Tidak sedikit koperasi yang kesulitan berkembang karena keterbatasan modal dan kurangnya kompetensi pengelola.
Meskipun memiliki ide bisnis yang baik, banyak pengurus koperasi yang tidak memiliki keahlian manajerial, pemasaran, dan keuangan yang memadai. Akibatnya, koperasi sulit bersaing di pasar dan tidak mampu memberikan manfaat optimal bagi anggotanya.
Solusi dan Harapan Masa Depan
Meskipun dihadapkan pada berbagai persoalan, bukan berarti cita-cita Koperasi Merah Putih harus dikubur. Ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk memperbaiki kondisi ini:
Pertama, Penguatan Regulasi dan Pengawasan. Pemerintah perlu memperketat regulasi pendirian dan pengawasan koperasi. Verifikasi yang lebih mendalam, audit berkala, dan sanksi tegas bagi koperasi yang menyimpang harus diterapkan secara konsisten.
Kedua, Peningkatan Literasi dan Edukasi. Pemerintah, bersama dengan lembaga swadaya masyarakat, harus gencar melakukan edukasi tentang prinsip-prinsip koperasi dan literasi keuangan kepada masyarakat.
Ketiga, Penerapan Tata Kelola yang Baik. Koperasi harus didorong untuk menerapkan tata kelola yang baik, termasuk transparansi dalam pengelolaan keuangan dan akuntabilitas pengurus kepada anggotanya.
Keempat, Peningkatan Kompetensi Pengelola. Dibutuhkan program pelatihan yang berkelanjutan bagi para pengurus koperasi agar mereka memiliki kompetensi yang memadai dalam mengelola bisnis dan keuangan.
Dengan adanya perbaikan sistemik dan komitmen kuat dari semua pihak, termasuk pemerintah, pengurus, dan anggota, Koperasi Merah Putih diharapkan dapat kembali ke jalur idealnya.
Bukan lagi sebagai wadah penipuan, melainkan sebagai instrumen nyata untuk mewujudkan kemandirian ekonomi masyarakat, sesuai dengan semangat Merah Putih yang sesungguhnya. (*)
***
*) Oleh : Indra Setiawan, S.E., M.M., Dosen Prodi Ekonomi Syariah, Kepala LPM STAIMAS Wonogiri dan Ketua Koppang Ngudi Rukun.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |