https://wonogiri.times.co.id/
Opini

Pelajaran di Balik Tagar Boikot Trans7

Selasa, 14 Oktober 2025 - 20:46
Pelajaran di Balik Tagar Boikot Trans7 Achmad Zaky Faiz, M.Sos., Sekretaris Prodi KPI STAIMAS Wonogiri.

TIMES WONOGIRI, WONOGIRI – Penayangan Xpose Uncensored di Trans7 yang menyinggung Pondok Pesantren Lirboyo kini memicu gelombang seruan boikot terhadap Trans7. Stasiun televisi yang berada di bawah naungan Transmedia itu dianggap tidak memiliki tanggung jawab moral. 

Narasi yang viral secara eksplisit menyindir Kiai sepuh dengan menyebut "Kiai yang kaya raya, tapi umatnya yang kasih amplop" bukan sekadar kritik sosial biasa. Namun, muncul dugaan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). 

Kasus ini menegaskan bahwa kebebasan berekspresi tanpa etika justru dapat berubah menjadi bentuk baru dari kekerasan simbolik yang merusak harmoni sosial.

Inti kemarahan publik terletak pada dua faktor di antaranya pelecehan terhadap tokoh agama terkemuka dan penyebaran stereotip negatif yang sarat bias etnis, agama, dan ras. 

Dalam konteks budaya Indonesia, Kiai dan pesantren memiliki posisi sentral dalam kebudayaan Indonesia. Mereka bukan sekadar institusi pendidikan, melainkan juga berfungsi sebagai benteng penjaga moral serta representasi penghormatan yang sangat dimuliakan oleh jutaan umat. 

Merendahkan martabat seorang Kiai melalui narasi sinis dalam ruang publik penyiaran sama artinya dengan menyerang fondasi spiritual dan sosial masyarakat tersebut. Realitas ini berlawanan dengan ketentuan dalam P3SPS, di mana lembaga penyiaran diwajibkan untuk menghormati nilai-nilai agama, kepatutan, dan moral.

Program siaran tersebut menunjukkan adanya indikasi bahwa media cenderung mengeksploitasi isu-isu yang reaktif dengan mengabaikan prinsip-prinsip profesionalisme. Program jurnalistik seharusnya bersifat edukatif, berimbang, dan faktual, bukan provokatif dan sensasional. 

Narasi yang ditampilkan dinilai tidak berhasil memenuhi peran klarifikasi dan edukasi, melainkan malah memperkuat penyebaran informasi menyesatkan serta memicu ujaran kebencian. Program Xpose Uncensored tampaknya lebih mengutamakan daya tarik konten yang kontroversial (sensasionalisme) daripada integritas informasi dan sensitivitas budaya.

Cepatnya reaksi dari berbagai entitas, mulai dari para santri, alumni, ormas keagamaan seperti GP Ansor, hingga wakil rakyat di DPR RI. Di antara mereka mengindikasikan bahwa isu ini memiliki dampak yang amat krusial dan menyangkut kedaulatan moralitas kolektif bangsa. 

Tagar #BoikotTrans7 yang menggema adalah ekspresi kolektif bahwa masyarakat tidak lagi pasif terhadap konten media yang merusak. Ini adalah peringatan bahwa lembaga penyiaran tidak bisa berlindung di balik dalih kebebasan pers jika kebebasan itu digunakan untuk merendahkan dan memecah belah.

Keputusan Trans7 untuk segera menyampaikan permintaan maaf resmi kepada Pondok Pesantren Lirboyo patut dihargai sebagai langkah awal pengakuan. Namun, pertanggungjawaban etis harus diikuti dengan pertanggungjawaban hukum penyiaran. 

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), baik di tingkat daerah (KPID) maupun pusat, memiliki mandat untuk menindaklanjuti kasus ini dengan tegas. Sanksi administratif berupa teguran tertulis atau bahkan penghentian sementara program harus dijatuhkan jika terbukti melanggar pasal-pasal P3SPS yang berkaitan dengan penghinaan, diskriminasi, dan penyalahgunaan siaran untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Kasus ini harus menjadi momen refleksi bagi seluruh industri penyiaran di Indonesia. Ia mengajarkan bahwa dalam masyarakat majemuk yang menjunjung tinggi adab dan tokoh agama, jurnalisme harus memiliki adab yang sama tingginya dengan objektivitasnya. 

Kurangnya jurnalisme yang beradab hanya akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik, sanksi ketat dari regulator, dan tentu saja kerugian besar akibat gerakan boikot. Media harus mengingat bahwa pada hakikatnya, mereka adalah penjaga informasi dan pemersatu bangsa, bukan pemicu konflik melalui sensasionalisme.

Selain itu, kasus ini akan memunculkan diskusi-diskusi penting tentang arah aturan media di era digital serba cepat dan mendambakan perhatian publik. Di tengah badai kode dan persaingan rating, kesenjangan antara berbagi berita dan memanfaatkan informasi menjadi semakin kabur. Padahal, jurnalisme yang sehat tidak hanya diukur dari seberapa viral sebuah tayangan, tetapi dari seberapa besar kontribusinya dalam menumbuhkan empati, kesadaran kritis, dan persatuan sosial. 

Maka, transformasi paradigma media menjadi sebuah keharusan. Mulai dari sekadar pencari klik menuju pengemban amanah publik yang menjunjung nilai kebenaran, keadilan, dan keadaban dalam setiap kata yang disiarkan.  

 

***

*) Oleh : Achmad Zaky Faiz, M.Sos., Sekretaris Prodi KPI STAIMAS Wonogiri.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Wonogiri just now

Welcome to TIMES Wonogiri

TIMES Wonogiri is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.