https://wonogiri.times.co.id/
Opini

Karakter Kepemimpinan Nabi Muhammad

Rabu, 17 September 2025 - 16:48
Karakter Kepemimpinan Nabi Muhammad Nadhiroh, S.Sos.I., M.I.Kom, Kaprodi KPI STAIMAS Wonogiri.

TIMES WONOGIRI, WONOGIRI – Maulid Nabi Muhammad Saw 12 Rabi’ul Awwal 1447 H yang jatuh pada 5 September 2025 lalu, kembali menjadi momentum penting bagi umat Islam untuk meneguhkan kecintaan kepada Rasulullah. Setiap tahun, masyarakat menyambut bulan ini dengan penuh suka cita, mengadakan pembacaan selawat, barzanji, tabligh akbar, doa bersama, santunan, hingga berbagai perlombaan keagamaan. 

Semua itu dimaksudkan untuk memperkuat ikatan spiritual sekaligus menumbuhkan semangat meneladani akhlak Nabi. Namun di balik gegap gempita perayaan, sesungguhnya ada refleksi mendalam yang seharusnya menjadi sorotan: apakah nilai-nilai kepemimpinan Nabi benar-benar hadir dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya kita saat ini, ataukah semua itu berhenti sebatas seremoni tanpa ruh?

Nabi Muhammad Saw adalah sosok pemimpin yang melampaui batas zaman. Ia tidak hanya menjadi panutan umat Islam, tetapi juga figur universal yang diakui dunia. Michael H. Hart dalam karyanya The 100: A Ranking of The Most Influential Persons in History menempatkan Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh dalam sejarah manusia, bukan semata karena kepemimpinannya di bidang agama, melainkan karena keberhasilannya menyatukan kekuatan spiritual dengan kecakapan sekuler. 

Hart menulis bahwa Nabi Muhammad adalah satu-satunya manusia yang sukses luar biasa di dua ranah itu sekaligus. Pengakuan ini menegaskan bahwa kepemimpinan Nabi bukan sekadar urusan keyakinan, tetapi realitas sejarah yang membuktikan dirinya sebagai teladan kepemimpinan yang otentik.

Al-Qur’an menggambarkan karakter Rasulullah Saw dengan amat jelas. Dalam Q.S. At-Taubah ayat 128 ditegaskan bahwa beliau adalah pribadi yang sangat peduli pada penderitaan umat, penuh kasih sayang, dan gigih menginginkan keselamatan mereka. 

Sifat-sifat dasar seperti jujur, dapat dipercaya, cerdas, dan berani menyampaikan kebenaran bukan sekadar atribut, melainkan napas hidup Nabi dalam memimpin. 

Gelar Al-Amin yang disematkan masyarakat Makkah jauh sebelum beliau diutus sebagai Rasul adalah bukti konkret bahwa kepemimpinan yang berakar pada integritas selalu meninggalkan jejak kepercayaan publik.

Kontras dengan keteladanan itu, hari ini kita justru hidup dalam krisis kepemimpinan. Banyak pemimpin di negeri ini yang hanya mengandalkan retorika, piawai berbicara tentang moralitas, tetapi gagal memberi bukti nyata. 

Kata-kata yang penuh semangat kebersamaan sering kali runtuh di hadapan kenyataan: keputusan-keputusan politik yang lebih berpihak pada kepentingan elite daripada rakyat, praktik korupsi yang menggerogoti kepercayaan publik, serta kepemimpinan yang lebih sibuk membangun citra ketimbang membangun bangsa. 

Tak heran jika satu demi satu, pejabat publik tersandung kasus hukum, menunjukkan betapa rapuhnya komitmen mereka pada amanah yang diemban.

Inilah jurang paling tajam yang membedakan kepemimpinan Nabi dengan kepemimpinan zaman sekarang. Rasulullah tidak pernah menjadikan kepemimpinan sebagai sarana menumpuk kekuasaan atau harta. Beliau memimpin dengan kesederhanaan, mengedepankan kepentingan umat di atas kepentingan diri. 

Sedangkan sebagian besar pemimpin kita justru menjadikan jabatan sebagai jalan untuk memperkaya keluarga dan kelompoknya. Akibatnya, masyarakat semakin kehilangan figur teladan dan krisis kepercayaan terhadap pemimpin semakin dalam.

Meneladani kepemimpinan Nabi Muhammad Saw, bukan perkara mengulang jargon atau sekadar mengutip sifat-sifat beliau. Itu harus diterjemahkan dalam tindakan nyata. Kejujuran, misalnya, bukan cukup dipamerkan dalam pidato, melainkan diwujudkan dalam kebijakan yang transparan, pengelolaan anggaran yang bersih, dan keberanian menolak praktik culas. 

Amanah tidak bisa hanya menjadi slogan kampanye, tetapi harus terwujud dalam dedikasi tulus untuk melayani rakyat. Kecerdasan tidak boleh sebatas strategi politik memenangkan kekuasaan, tetapi harus menjadi kecakapan menghadirkan solusi bagi persoalan bangsa. 

Dan keberanian menyampaikan kebenaran tidak cukup berhenti pada panggung retorika, tetapi harus terwujud dalam keberanian melawan ketidakadilan meski berhadapan dengan risiko politik.

Masalahnya, membangun kepemimpinan yang meneladani Nabi membutuhkan fondasi yang jauh lebih kokoh dari sekadar niat pribadi. Ia memerlukan ekosistem politik dan sosial yang sehat. Pemimpin dengan integritas sulit bertahan di dalam sistem yang rusak, karena arus korupsi, transaksi politik, dan kepentingan oligarki akan selalu menyeret mereka untuk kompromi. 

Karena itu, jika bangsa ini sungguh ingin melahirkan pemimpin yang meneladani Nabi Muhammad Saw, reformasi sistemik mutlak diperlukan. Politik harus dibersihkan dari praktik uang, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, dan masyarakat sipil harus menjadi pengawas aktif yang berani bersuara.

Maulid Nabi harus menjadi ruang refleksi kolektif: apakah kita masih memiliki keberanian untuk menuntut lahirnya pemimpin yang benar-benar meneladani Rasulullah? Apakah kita masih memiliki daya kritis untuk menolak retorika kosong yang hanya membius rakyat sementara praktik busuk terus berlangsung? 

Pertanyaan ini tidak hanya ditujukan kepada pemimpin, tetapi juga kepada kita sebagai rakyat. Karena krisis kepemimpinan lahir bukan hanya dari lemahnya integritas elite, tetapi juga dari sikap permisif masyarakat yang sering kali melupakan akuntabilitas begitu janji manis kampanye selesai.

Bangsa ini jelas membutuhkan pemimpin yang mampu menghadirkan teladan nyata, bukan sekadar kata-kata indah. Nabi Muhammad Saw, telah menunjukkan kepada dunia bahwa kepemimpinan sejati adalah keberanian mengedepankan kebenaran, kejujuran, kesederhanaan, dan kasih sayang. Jika karakter itu sungguh dihidupkan, niscaya bangsa ini akan terhindar dari krisis keteladanan yang berkepanjangan.

Doa yang selalu dipanjatkan umat, “Ya Allah, jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan anugerahkanlah kepada kami pemimpin yang amanah,” bukan sekadar harapan kosong. Doa itu adalah seruan agar kita tidak berhenti memperjuangkan lahirnya pemimpin dengan karakter kenabian. 

Di tengah gelombang krisis moral, meneladani kepemimpinan Nabi Muhammad Saw bukan sekadar kewajiban spiritual, tetapi kebutuhan mendesak bagi keberlangsungan demokrasi dan masa depan bangsa. (*)

***

*) Oleh : Nadhiroh, S.Sos.I., M.I.Kom, Kaprodi KPI STAIMAS Wonogiri.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Wonogiri just now

Welcome to TIMES Wonogiri

TIMES Wonogiri is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.