TIMES WONOGIRI, WONOGIRI – Salah satu pilar utama negara hukum adalah prinsip keadilan yang berlaku setara bagi semua warga negara, tanpa kecuali. Namun dalam praktiknya, penegakan hukum di Indonesia menunjukkan arah sebaliknya.
Masyarakat kini kembali menyaksikan ironi hukum yang hanya tegas terhadap kalangan bawah, namun longgar dan penuh kompromi terhadap elite yang berkuasa.
Setelah lebih dari dua dekade reformasi, harapan akan hadirnya sistem hukum yang adil dan tidak pandang bulu tetap menjadi mimpi yang belum terwujud sepenuhnya.
Di bawah pemerintahan baru, publik kembali menyaksikan fenomena lama yang terus berulang: penegakan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Reformasi hukum yang dijanjikan sejak era pasca-Reformasi tampak terhenti pada tataran wacana. Lembaga penegak hokum seperti kehilangan taringnya.
Masyarakat Indonesia kembali mempertanyakan arah penegakan hukum di bawah pemerintahan baru. Optimisme akan lahirnya sistem hukum yang kuat, independen, dan berkeadilan ternyata harus berhadapan dengan kenyataan: praktik hukum masih timpang, diskriminatif, dan kerap dimanipulasi untuk kepentingan segelintir elite.
Ungkapan lama bahwa "hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas" tampaknya belum kehilangan relevansi. Justru, dalam beberapa kasus yang mencuat belakangan ini, istilah tersebut mendapat pembenaran melalui fakta-fakta yang nyata dan mengecewakan.
Fenomena ketimpangan dalam perlakuan hukum bukan lagi sekadar asumsi, melainkan realitas yang bisa diamati secara empirik. Pada satu sisi, masyarakat kecil seringkali dihukum berat atas pelanggaran ringan, seperti kasus pencurian sembako atau pelanggaran administratif.
Di sisi lain, kasus korupsi berjamaah, suap politik, dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat tinggi kerap ditangani secara lamban, setengah hati, bahkan hilang dari perhatian publik.
Kritik terhadap aparat penegak hukum seperti bukanlah hal yang baru. Namun yang mencemaskan adalah kecenderungan stagnasi bahkan kemunduran dalam upaya pembenahan institusional.
Pengawasan internal yang lemah, budaya impunitas, serta campur tangan politik menjadikan sistem hukum kita bukan sebagai instrumen keadilan, tetapi alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Isu terbaru yang menimbulkan keprihatinan publik adalah pemberian grasi atau pengampunan terhadap tokoh-tokoh politik dan pejabat negara yang terlibat kasus korupsi atau pelanggaran serius.
Alih-alih menjadi bentuk kemanusiaan, grasi ini ditafsirkan sebagai manuver politik yang sarat kepentingan pragmatis. Hal ini mempertegas persepsi bahwa hukum kerap kali berbelok arah mengikuti kekuasaan, bukan berdasarkan pertimbangan yuridis yang objektif.
Ketimpangan penegakan hukum bukan hanya soal ketidakadilan individual, tapi juga ancaman terhadap tatanan sosial yang demokratis. Demokrasi tidak akan berjalan tanpa hukum yang adil.
Bila rakyat tidak percaya pada jalur hukum sebagai solusi konflik, maka ruang tumbuhnya radikalisme, anarkisme, dan ketidakpatuhan hukum akan makin terbuka lebar.
Selain itu, investor dan pelaku ekonomi juga membutuhkan kepastian hukum. Ketika hukum bisa dipolitisasi atau dibeli, maka iklim investasi menjadi tidak stabil, yang pada akhirnya merugikan pembangunan nasional secara keseluruhan.
Jalan Menuju Reformasi Hukum yang Substantif
Untuk membalik arah dan memulihkan kepercayaan publik terhadap hukum, dibutuhkan reformasi hukum yang tidak bersifat kosmetik, melainkan menyentuh akar permasalahan. Beberapa langkah strategis antara lain:
Pertama, Penguatan Independensi Lembaga Penegak Hukum, Pemisahan tegas antara kekuasaan eksekutif dan institusi hukum harus dijamin, termasuk dalam proses penunjukan pejabat tinggi hukum.
Kedua, Reformasi Aparatur dan Rekrutmen, Proses seleksi hakim, jaksa, dan polisi harus terbuka, transparan, dan berbasis integritas, bukan relasi politik atau patronase.
Ketiga, Partisipasi Masyarakat dan Media, Ruang bagi pengawasan sipil harus diperluas, termasuk pelindungan terhadap whistleblower dan jurnalis investigasi.
Keempat, Peninjauan Mekanisme Grasi dan Remisi, Perlu dibentuk dewan independen yang mengkaji dan menilai setiap permintaan grasi dengan melibatkan masyarakat sipil.
Penegakan hukum yang adil bukan sekadar harapan idealis, melainkan prasyarat mutlak bagi terciptanya negara yang beradab dan demokratis. Pemerintah hari ini memiliki mandat dan kesempatan historis untuk memulihkan marwah hukum di Indonesia. Namun itu hanya bisa terjadi jika hukum benar-benar berdiri di atas keadilan, bukan di bawah bayang-bayang kekuasaan.
***
*) Oleh : Ruslina Dwi Wahyuni, S.Sos., M.A.P., CPM., Dosen Hukum Tata Negara STAI Mulia Astuti Wonogiri dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |