TIMES WONOGIRI, WONOGIRI – Dalam sebuah pelatihan guru yang digelar beberapa waktu lalu, seorang guru senior mengangkat tangan dan bertanya dengan nada lelah, "Sebenarnya, kami ini harus jadi apa? Setiap pelatihan ada saja peran baru yang harus kami jalankan." Pertanyaan sederhana itu mewakili kegelisahan ribuan guru di Indonesia yang tengah kehilangan arah di tengah tuntutan peran yang kian menumpuk.
Fasilitator, motivator, pembelajar, aktivator, kolaborator, pengembang budaya belajar deretan istilah itu terus bertambah seiring waktu. Setiap seminar dan workshop pendidikan seolah berlomba menciptakan jargon baru. Namun, di tengah riuhnya terminologi modern tersebut, satu peran paling fundamental justru terlupakan: guru sebagai teladan.
Ironi pendidikan kita hari ini terletak pada fakta bahwa semakin banyak istilah yang kita gunakan, semakin jauh kita dari esensi pendidikan itu sendiri. Guru-guru sibuk mengejar sertifikat "guru profesional abad 21", mengisi log book digital, dan mengikuti pelatihan demi pelatihan. Mereka hafal luar kepala apa itu pembelajaran diferensiasi, asesmen autentik, dan higher order thinking skills.
Tapi kemudian kita lupa, bahwa murid-murid di kelas tidak peduli dengan istilah-istilah canggih itu. Yang mereka ingat adalah bagaimana gurunya berbicara pada mereka, bagaimana gurunya menyelesaikan masalah, bagaimana gurunya memperlakukan orang lain. Anak-anak belajar dengan mata mereka, bukan dengan telinga mereka.
Wisdom Leluhur yang Terlupakan
Sebenarnya, kita tidak perlu jauh-jauh mencari teori baru. Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, telah merumuskan ini dengan sangat indah hampir seabad lalu: "Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani."
Perhatikan urutan filosofi itu. Yang pertama adalah "ing ngarso sung tulodo" di depan memberi teladan. Bukan "di depan memberi ceramah", bukan "di depan memberi instruksi", tetapi memberi teladan. Ki Hajar Dewantara paham betul bahwa pendidikan dimulai dari keteladanan, bukan dari teori.
Namun entah kenapa, dalam upaya menjadi "modern" dan "internasional", kita malah mengabaikan kebijaksanaan leluhur sendiri. Kita sibuk mengadopsi istilah-istilah dari barat, padahal filosofi pendidikan kita sudah lengkap dan terbukti efektif dalam membentuk karakter bangsa.
Data dari Direktorat Guru Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan menunjukkan fakta menarik: guru yang menjadi teladan baik terbukti lebih efektif dalam membentuk karakter siswa dibandingkan guru yang hanya menguasai metode pengajaran modern.
Keteladanan yang dicontohkan guru memudahkan penerapan nilai-nilai karakter bagi peserta didik jauh lebih efektif dibanding modul dan buku panduan setebal apa pun.
Penelitian tentang peran guru sebagai teladan dalam pendidikan karakter juga mengungkap hal yang sebenarnya sudah kita tahu secara intuitif: sikap dan perilaku guru secara alami ditiru oleh siswa. Tidak perlu instruksi khusus, tidak perlu modul pembelajaran karakter yang rumit. Cukup guru menunjukkan contoh, siswa akan mengikuti.
Jika kita renungkan lebih dalam, "teladan" sesungguhnya sudah mencakup semua peran yang dituntut dari guru modern.
Guru harus jadi fasilitator? Seorang guru yang menjadi teladan baik secara otomatis adalah fasilitator yang baik, karena ia menunjukkan bukan hanya memberi tahu bagaimana cara belajar yang benar.
Guru harus jadi motivator? Tidak ada motivasi yang lebih ampuh daripada melihat gurunya sendiri adalah pribadi yang bersemangat, tekun, dan pantang menyerah. Siswa tidak butuh yel-yel motivasi jika gurunya sendiri adalah sosok yang termotivasi.
Guru harus jadi pembelajar? Ketika murid melihat gurunya membawa buku, bertanya, dan mengakui tidak tahu, mereka belajar bahwa pendidikan adalah perjalanan seumur hidup. Itu jauh lebih bermakna daripada ribuan slide tentang "lifelong learning".
Guru harus melek teknologi? Seorang guru teladan akan menunjukkan bagaimana menggunakan teknologi dengan bijak dan etis, bukan sekadar mahir mengoperasikan aplikasi terbaru.
Keteladanan adalah induk dari semua peran. Ini adalah fondasi, bukan sekadar salah satu dari sekian banyak fungsi guru.
Ada sebuah cerita dari seorang dokter spesialis di Jakarta. Ia bercerita bahwa yang membuatnya memilih profesi dokter bukan karena pelajaran biologi yang canggih di sekolahnya dulu. Tapi karena ia tidak pernah lupa bagaimana guru olahraganya yang juga merangkap sebagai petugas UKS dengan sabar merawat luka-luka kecil para murid.
"Beliau selalu bilang, 'Nanti kalau sudah besar, kalian harus bisa menolong orang lain,'" kenangnya. "Bukan kata-katanya yang membekas, tapi kesabarannya saat merawat kami."
Itulah kenyataannya. Murid akan melupakan materi pelajaran yang kita ajarkan. Mereka akan melupakan metode mengajar yang kita gunakan. Tapi mereka tidak akan pernah melupakan siapa kita sebagai pribadi. Mereka tidak akan lupa bagaimana kita memperlakukan mereka dan orang-orang di sekitar kita.
Kembali ke Esensi
Sudah saatnya sistem pendidikan kita kembali ke esensi. Bukan berarti kita menolak modernisasi atau inovasi. Tapi semua metode baru, semua teknologi canggih, semua istilah modern itu harus berdiri di atas fondasi yang kokoh: keteladanan.
Pemerintah dan pemangku kebijakan pendidikan perlu mengevaluasi: apakah tuntutan administratif dan birokratis yang kita bebankan pada guru benar-benar membantu mereka menjadi teladan yang lebih baik? Atau justru menggerus waktu dan energi mereka untuk berinteraksi dengan murid?
Pelatihan-pelatihan guru juga perlu direorientasi. Alih-alih dimulai dengan teori pedagogis yang rumit, mulailah dengan pertanyaan sederhana: "Sudahkah saya menjadi pribadi yang layak diteladani?" Refleksi diri ini jauh lebih penting daripada seribu teknik mengajar.
Masyarakat dan orang tua juga perlu memahami bahwa guru yang baik bukan diukur dari seberapa banyak gelar atau sertifikat yang ia kantongi. Guru yang baik adalah guru yang konsisten antara ucapan dan tindakan, yang jujur, yang peduli, yang terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.
"Guru sebagai teladan" memang terdengar sederhana, bahkan mungkin terkesan kuno di era digital ini. Tapi jangan salah, menjadi teladan justru jauh lebih sulit daripada sekadar menguasai aplikasi pembelajaran terbaru atau metode mengajar yang sedang tren.
Menjadi teladan berarti hidup dengan integritas setiap saat bukan hanya saat di depan kelas. Menjadi teladan berarti konsisten, baik ketika ada yang melihat maupun tidak. Menjadi teladan berarti berani mengakui kesalahan dan terus berbenah diri. Itu jauh lebih menantang daripada mengikuti ratusan pelatihan.
Tapi itulah yang sesungguhnya dibutuhkan oleh anak-anak kita. Bukan guru yang hafal segudang istilah pedagogis, tapi guru yang bisa mereka lihat dan katakan dalam hati, "Saya ingin menjadi seperti beliau."
Di penghujung kariernya, seorang guru senior pernah ditanya, "Apa pencapaian terbesar Anda selama mengajar?" Ia tidak menjawab tentang berapa banyak siswa yang lulus dengan nilai sempurna atau berapa prestasi yang diraih sekolahnya.
Ia menjawab sederhana, "Ketika ada murid lama yang datang dan berkata, 'Pak, saya jadi orang seperti sekarang karena belajar dari contoh Bapak.' Itulah pencapaian terbesar saya."
Dan itulah esensi sejati dari profesi guru. Bukan transfer pengetahuan, bukan fasilitasi pembelajaran, bukan pengembangan kompetensi semua itu penting, tapi semuanya akan bermakna hanya jika berdiri di atas fondasi keteladanan.
Ki Hajar Dewantara telah mengingatkan kita sejak hampir seabad lalu. Sudah saatnya kita mendengarkan kembali suara bijak leluhur dan mengembalikan guru pada perannya yang paling fundamental dan paling mulia: menjadi teladan.
Pendidikan bukan tentang seberapa banyak kita tahu, tapi tentang siapa kita sebagai manusia. Dan guru, sebagai pendidik sejati, harus pertama-tama menjadi manusia teladan yang layak diikuti.
***
*) Oleh: Beni Nur Cahyadi, Guru SMK Negeri 1 Giritontro.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |