TIMES WONOGIRI, WONOGIRI – Permasalahan guru kembali mengemuka beberapa bulan terakhir karena adanya pernyataan mantan Menteri keungan Sri Mulyani dan Menteri Agama Nassaruddin Umar mengenai guru. Pro dan kontra berkembang bak bola salju yang terus memantik reaksi dari berbagai kalangan.
Ketika kita melihat profesi guru, bak profesi yang berada dipersimpangan jalan. Disatu sisi guru adalah sebuah dedikasi yang mulia karena telah turut mencerdaskan bangsa dan membebaskan bangsa dari belenggu kebodohan. Namun, disisi lain guru adalah sebuah profesi yang memerlukan pengakuan, kesejahteraan dan perlindungan.
Menjadi guru di Indonesia selalu menjadi pekerjaan yang unik. Sejak lama guru di Indonesia disebut dengan pahlawan tanpa tanda jasa. Munculnya anggapan ini menimbulkan anggapan jika guru dalam menyampaikan ilmu dengan ketulusan tanpa menghitung untung-rugi.
Romantisme semacam ini menghadirkan konsekuensi di kalangan masyarakat maupun pengambil kebijakan. Guru seringkali dianggap wajar jika mereka mengabdi dengan gaji rendah, bekerja melebihi tupoksinya dan mengorbankan dirinya demi anak didiknya.
Dedikasi guru ini seolah sebagai standar baku di negeri ini sehingga ketika guru meminta hak profesionalnya dianggap tidak bersyukur dan materialistis.
Jika kita melihat besaran gaji guru di Negara-negara ASEAN, Indonesia masih memiliki kategori gaji yang lebih rendah. Hal ini menimbulkan keprihatinan dikalangan guru.
Seiring dengan perkembang zaman guru bukan hanya sekedar dedikasi melainkan guru juga dituntut untuk professional dalam mengajar. Guru dituntut menguasai metode mengajar modern, memanfaatkan teknologi, mengelola kelas, hingga memahami psikologi anak.
Sebenarnya pemerintah telah lama mengakui guru sebagai sebuah profesi dengan adanya undang-undang guru dan dosen yang meletakkan guru sebagai sebuah profesi. Dengan adanya status guru sebagai sebuah profesi ini, sudah saatnya guru mendapatkan hak atas gaji yang layak, jenjang karir yang berkelanjutan, dan jaminan kesejahteraan.
Kenyataan di lapangan tak seindah angan-angan dan aturan. Banyak guru yang masih bekerja dibawah standar kata layak. Sertifikasi profesi yang digelar pemerintah tidak serta-serta menjamin peningkatan kualitas.
Pada titik inilah selanjutnya muncul kerumitan sistem, disatu sisi guru dituntut untuk professional namun tidak mendapatkan dukungan dari sistem dan kebijakan pemerintah yang memihak guru.
Dedikasi dan profesi bukanlah dua kutub yang saling dipertentangkan. Dedikasi adalah sebuah fondasi moral sedangkan profesi adalah struktur formal yang melekat pada tugas guru.
Tanpa dedikasi, seorang guru yang mengajar bisa menjadi kegiatan rutin tnapa ruh. Sebaliknya tanpa status profesi dedikasi seorang guru rawan untuk dimanfaatkan tanpa penghargaan yang pantas dan layak.
Maka, keduanya harus berjalan secara beriringan. Pemerintah dan para pengambil kebijakan sudah saatnya mengakui bahwa guru adalah profesi yang harus didukung secara penuh, bukan hanya janji-janji manis kenaikan gaji yang tak terealisasi.
Dilema guru antara dedikasi dan profesi sebetulnya mencerminkan transisi besar dalam dunia pendidikan Indonesia. Kita sedang bergerak dari paradigma lama yang menekankan pengabdian tanpa pamrih menuju paradigma baru yang menekankan profesionalisme.
Kita semua perlu menyadari bahwa kualitas pendidikan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kualitas hidup dan kerja guru. Menghormati guru berarti juga menghormati hak-hak mereka sebagai profesional.
Jika kita bisa membangun sistem yang adil, maka guru tidak lagi perlu terjebak dalam dilema. Mereka bisa menjadi pendidik yang berdedikasi sekaligus pekerja profesional yang dihargai. (*)
***
*) Oleh : Dony Purnomo, Guru Geografi SMAN 1 Purwantoro dan Kepala Balai Riset dan Literasi Pendiks Geonusa.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |