TIMES WONOGIRI, PACITAN – Dinas Kesehatan Kabupaten Pacitan (Dinkes Pacitan) mencatat total kasus HIV / AIDS mencapai 12 orang per Mei 2025. Dari jumlah itu, sebagian besar berasal dari perilaku hubungan sesama jenis atau laki-laki suka laki-laki (LSL).
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Pacitan, Nur Farida.
Ia menyebut kelompok LSL menjadi penyumbang terbanyak kasus baru HIV di wilayahnya. Namun, upaya edukasi terhadap kelompok ini tidak berjalan mudah.
“Kasus baru, terbesar asalnya dari LSL. Karena ada kelainan seksual, kami susah mengedukasi. Sulit sekali untuk menjadi normal. Akhirnya konsepnya lebih kepada pengobatan,” ungkap Nur Farida, Kamis (22/5/2025).
Ia mengatakan, pihaknya sudah melakukan berbagai pendekatan termasuk skrining rutin kepada kelompok berisiko, terutama di tempat hiburan malam (THM).
Kendati Dinkes Pacitan sudah melakukan skrining di sejumlah tempat hiburan malam secara rutin menyasar kelompok berisiko, namun pelaksanaannya sering terbentur penolakan.
“Konsepnya melalui pendekatan. Sebelumnya berkomunikasi dengan pemilik THM. Yang kita inginkan mereka itu sadar mau skrining. Karena mereka berisiko. Cuman masih ada beberapa yang melakukan penolakan,” bebernya.
Jika menemui kendala, Dinkes biasanya menggandeng tokoh masyarakat agar bisa memberikan pemahaman yang lebih diterima. “Kalau ada penolakan biasanya kami libatkan tokoh masyarakat,” tambahnya.
Ia juga menegaskan bahwa tugas razia atau sidak bukan kewenangan dinas kesehatan. “Sidak bukan ranah kami,” tegasnya.
Dari 12 kasus yang tercatat, satu pasien telah menjalani pengobatan HIV dengan terapi antiretroviral (ARV), sementara satu lainnya fokus mengobati tuberkulosis (TB) lebih dulu. “Pasien HIV seringkali terkena TB. Jadi kadang fokus pengobatannya ke TB dulu,” jelas Farida.
Ia mengakui selama lima tahun terakhir, tren kasus HIV di Pacitan relatif stabil, berkisar antara 8 sampai 10 kasus per tahun. “Selama lima tahun terakhir ini nggak ada lonjakan signifikan. Penambahan per tahun masih seimbang. Belum sampai KLB. Grafiknya datar,” ungkapnya.
Selain LSL, kasus HIV juga ditemukan pada ibu rumah tangga yang tertular dari suaminya. “Ada juga kaum ibu tertular dari suami suka jajan,” katanya.
Farida mengingatkan bahwa HIV bukanlah vonis mati jika terdeteksi sejak dini. Namun, banyak pasien yang tidak konsisten dalam pengobatan, terutama setelah merasa kondisi tubuh membaik.
“Kasus positif HIV ada yang sampai meninggal. Sebenarnya kalau terdeteksi lebih awal masih bisa diobati. Rutin periksa. Yang jadi kendala ada juga yang los follow up. Setelah bagus dan normal, keluar kota lagi, lalu kambuh lagi,” tambahnya.
Untuk saat ini, pengobatan pasien HIV di Pacitan masih mengandalkan ARV. Namun, Farida menekankan bahwa penanganan HIV harus dilakukan secara menyeluruh dan tidak parsial. "Edukasi, pendampingan psikologis, serta keterlibatan komunitas sangat penting dalam memutus rantai penularan," tuturnya.
Kasus HIV / AIDS di Pacitan dalam Angka
- Tahun 2023 = 37
- Tahun 2024 = 34
- Tahun 2025 = 12. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: LSL Penyumbang Terbesar Kasus HIV/AIDS di Pacitan, Dinkes Akui Sulit Lakukan Edukasi
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Ronny Wicaksono |